Sabtu, 27 Agustus 2011

JANGAN HANYA MEMPEKERJAKAN, MANA TANGGUNG JAWABMU…!!!


rombongan Mendiknas Mohammad Nuh memecah keheningan jalan sepanjang 50 kilometer yang beraspal mulus itu.    Di dalam perkebunan kelapa sawit di Tawau, Sabah, Malaysia tersebut, tinggal ribuan kepala keluarga tenaga kerja Indonesia mereka kini sudah beranak pinak. Tetapi, muncul masalah besar dengan keberadaan anak-anak para TKI tersebut salah satunya adalah masalah akses pendidikan.

Catatan dari Konsulat Republik Indonesia di Tawau menyebutkan, Sedikitnya 40.000 anak TKI tersebar di perumahan pekerja perkebunan kelapa sawit tersebut mereka hanya memperoleh pendidikan setara kejar paket A dan B. Dari jumlah tersebut, yang bisa mengenyam pendidikan setingkat SD tidak sampai separo. Sedangkan yang mengenyam pendidikan SMP hanya sekitar 500 anak. Itu pun, pendidikan SD dan SMP-nya hanya nonformal. Dengan begitu, ijazah yang mereka peroleh hanya ijazah seperti kejar paket A dan B.
Pusat Kegiatan Belajar Mengajar diTawau, Sabah

Setelah rombongan menteri tiba, anak-anak yang belajar di pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) perkebunan kelapa sawit Merotai langsung berjajar rapi. Mereka menyambut kedatangan Nuh dengan tabuhan rebana. Seluruh siswa lantas memadati PKBM yang hanya terdiri atas tiga ruang kelas itu. Di antara para siswa PKBM Merotai yang baru saja naik ke tingkat SMP, ada Nuranita binti Nuddin. Bocah kelahiran Makassar, 12 Desember 1995, tersebut tinggal di perkebunan sawit itu sejak berumur dua bulan bersama orang tuanya yang bekerja sebagai buruh di tempat tersebut. Ya, meski usianya sudah 16 tahun, dia baru masuk kelas setara SMP. Padahal, umumnya, anak seusia dia minimal sudah kelas 1 SMA. Nuranita menceritakan, anak-anak lulusan SD tidak bisa sekolah di jenjang SMP milik pemerintah Malaysia. Dari segi infrastruktur, sekolah tingkat SD di Tawau masih terbatas.

Ibnu Hajar. Guru kelahiran Jambi, 18 Agustus 1965, itu menuturkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki sistem yang bisa menjaga ketersediaan guru di Tawau. Yakni, sistem perekrutan dan kontrak selama dua tahun. ”Kontrak saya habis tahun depan,” ujar PNS di lingkungan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jambi itu. Ibnu lantas menuturkan kurikulum pendidikan yang diberikan kepada anak-anak TKI. Pada tahun pertama, pelajaran yang diberikan terkait dengan pengenalan pulau-pulau Indonesia. Ibnu cukup kaget ketika awal-awal mengajar. Sebab, saat itu anak-anak TKI tersebut mengenal Indonesia hanya terdiri atas satu pulau. Yaitu, Pulau Sulawesi. ”Setelah saya telusuri, kebanyakan TKI di sini berasal dari Bugis. butuh waktu lebih dari satu semester untuk membuat mereka benar-benar hafal dan paham tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah berhasil mengenalkan pulau-pulau Indonesia, misi Ibnu selanjutnya adalah mulai menanamkan budaya-budaya Indonesia. Sebagian di antara materi yang paling ditekankan adalah penanaman budaya ramah tamah dan sopan santun. Menurut Ibnu, anak-anak TKI yang lahir dan besar di perkebunan sawit cenderung berperilaku kurang sopan. ”Mereka tidak sungkan-sungkan melompat dan naik ke pundak guru,” terang dia.
Setelah budi pekerti khas Indonesia tertanam, selanjutnya mereka diajari tentang sejarah. Misalnya, diperkenalkan dengan pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan. Selain itu, mereka mulai diperkenalkan dengan lagu kebesaran Indonesia Raya.  

Menurut Ibnu, pelajaran yang paling sulit diterima anak-anak TKI adalah pelajaran bahasa Indonesia. ”Penyebabnya adalah perbedaan persepsi tentang sebuah kata,” jelasnya. Dia mencontohkan, anak-anak para TKI itu lebih mengenal kata menjemput dengan arti mengundang daripada menjemput dengan arti mendatangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar